Perjalanan saya ke Sulawesi Selatan kemarin membawa saya ke Kabupaten Bulukumba. Disana, ada dua hal yang amat saya ingin bahas. Yang pertama adalah tenun khas Bira yang katanya sudah cukup sulit ditemui, dan yang kedua adalah Pinisi, kapal yang amat terkenal akan ketangguhannya menaklukkan samudera.
Perjalanan dari Makassar menuju Tanjung Bira, tempat dimana saya bisa menemukan dua objek tersebut, memakan waktu hampir empat jam lamanya. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi aneka pemandangan, mulai dari perkotaan, kampung, sawah, laut, hingga ladang garam.
Awalnya, saya sempat kesulitan mencari dimana pengrajin tenun Bira menenun. Setelah mencari info dari orang hotel, barulah kami mendapati seorang pengrajin di kampung Birakeke.
Tenun Bira ditenun dengan benang khusus yaitu benang kapas. Untuk alatnya sendiri, benar-benar alat tradisional yang bernama Gedogan. Nah untuk memintal benangnya, biasanya menggunakan pemintal yang berbentuk seperti kincir. Pewarnaannya juga berbeda, kebanyakan menggunakan bahan alami seperti akar mengkudu dan daun-daunan.
Nah, motif-motif dari tenun Bira sendiri juga nggak sembarangan. Biasanya, tenun Bira dominan dengan bentuk kotak. Mengapa kotak? Karena menurut masyarakat Bugis dan Makassar, kotak-kotak itu berarti empat sisi yang artinya keseimbangan. Selain itu, kadang juga ditambahkan motif lainnya seperti motif gunung, atau motif yang sedikit modern yaitu motif kapal Pinisi.
Ternyata, tenun Bira memiliki sejarah yang lekat dengan masyarakat Bira
Mengapa Tenun Bira memiliki sejarah yang lekat dengan masyarakat Bira? Karena dahulu kala, masyarakat Bira yang ingin merantau, dapat dipastikan semuanya membawa sarung tenun Bira. Selain menjadi identitas, tenun Bira amat kuat dan tidak mudah luntur, jadi handal digunakan untuk merantau. Bahkan konon, dulu tenun Bira menjadi salah satu komoditas untuk melakukan barter kepada pedagang dari Tiongkok.
Selain menggunakan benang kapas, tenun Bira biasa juga menggunakan benang emas. Nah, karena bahan yang super spesial ini, tenun Bira nggak bisa dicuci sembarangan. Tenun bira emas ini hanya bisa dicuci dengan menggunakan getah pepaya. Dengan getah pepaya, tenun bira tak akan mudah luntur, malahan warnanya semakin bagus.
Sayang, sudah tak banyak lagi generasi muda yang mau menenun tenun Bira, maka dari itu agak sulit mencari tenun Bira. Beruntung, di desa Birakeke, warga disana masih banyak yang menenun, meskipun sudah berganti ke alat yang lebih modern.
Kegigihan dan kesabaran warga Bira untuk melawan arus modernisasi dan menjaga tradisi wajib diacungi jempol nih! Kalau tradisi ini tak dijaga, mungkin dalam 20 tahun lagi, anak cucu kita nggak bisa ngeliat warna warni dari Tenun Bira. Wajib dijaga! Source : @catatanbackpacker